Lanjut ke konten

Sensasi Menginap di Hotel Kolonial 1918 di Jogjakarta

4 September 2016

phoenixjogja_balkon1

SELAMA touring Jakarta ke Jogjakarta, baru-baru ini, saya sempat singgah dan bermalam di Phoenix Hotel Yogyakarta. Hotel butik berbintang lima ini punya daya pikat tersendiri dan memberikan pengalaman sensasional bagi para tamunya.

Sensasi utama yang saya rasakan adalah arsitektur hotel yang bergaya kolonial Belanda. Walau ada sedikit kesan angker. Selain terlihat dari bangunannya yang masih dipelihara dengan baik, sejumlah ornament juga menopang kesan tersebut. Lihat saja misalnya bentuk pintu di bagian utama gedung hotel yang berukuran besar. Selain itu, gagang pintu dan sejumlah dokumentasi foto pembangunan hotel menambah kesan jadul.

“Bangunan utama hotel ini dibangun tahun 1918,” papar Thomas Evrad, general manager The Phoenix Hotel Yogyakarta M Gallery by Sofitel hotel, saat berbincang dengan saya pada suatu siang di Jogjakarta, belum lama ini.

Pria asal Perancis itu dengan fasih menjelaskan sejarah hotel yang sempat beberapa kali berganti nama. Penuturan dalam bahasa Indonesia yang lancar membuat saya lebih memahami sejarah hotel yang ternyata sejak berdiri dimiliki oleh orang Indonesia keturunan Tionghoa.

“Pemiliknya justeru bukan orang Belanda,” tambah pria yang pernah bekerja di pabrik cerutu itu.

Menurut dia, hotel ini pernah memakai Hotel Merdeka. Lalu, pada 1993 mengusung nama Phoenix Heritage. Ketika jaringan operator hotel Accor asal Perancis masuk, pada 2004, hotel ini berganti nama menjadi Mercure.

“Kemudian setelah direnovasi bergabung ke dalam kelompok M Gallery by Sofitel tahun 2009 hingga kini,” papar Thomas.

Jogja Banget

Ketika tamu tiba di lobby hotel akan mendapat sapaan dalam bahasa Jawa berdialek Jogjakarta. Sapaan dalam bahasa Jawa diharapkan membuat tamu merasakan tradisi dan budaya Jawa khususnya Jogjakarta. Para staf hotel yang berpakaian tradisional Jogjakarta melayani dengan ramah setiap tamu yang singgah.

“Saya tidak ingin hotel ini memakai sapaan dalam bahasa Inggris agar tamu menjadi kerasan dan merasakan kesan heritage-nya,” tutur Thomas yang mengaku anaknya lahir dengan bantuan bidan di hotel tempatnya bekerja.

Sambil menunggu proses cek in, para tamu diarahkan ke ruang tunggu yang berfunitur ukiran kayu. Di ruang tunggu itu terpampang lukisan wajah Sultan Hamengku Buwono. Para tamu diberi minuman selamat datang (welcome drink) wedang jahe yang dicampur soda menyegarkan. Selain itu, tamu diberi suguhan tujuh jenis makanan ringan khas Jogjakarta, salah satunya adalah bakpia.

“Kami punya bakpia yang kami sebut Bakpia 1918. Bakpia ini khas dan diproduksi dengan bahan khusus yakni umbu hitam dan kacang mete sehingga rasanya amat lembut,” tutur Thomas lagi.

Untuk urusan kuliner, lanjut dia, restoran yang ada di Phoneix Yogyakarta menyediakan menu khas Jogjakarta. Sebut saja misalnya ayam cemani, brongkos, dan gudeg. “Kami punya sembilan macam gudeg dan jamu yang disajikan sesuai kalender hari Jawa,” paparnya.

phoenixjogja_edo1

Berbincang dengan Thomas Evrad, general manager The Phoenix Yogyakarta (kanan), di Jogjakarta, baru-baru ini.

Konsep mengusung kuliner dan budaya lokal adalah strategi Sofitel atau Accors Hotel dalam memikat tamu atau wisatawan yang menginap di hotel berlabel M Gallery. Di Indonesia, Phoenix adalah hotel berlabel M Gallery pertama. Kini, terdapat empat hotel M Gallery. Tiga lainnya tersebar satu di Solo dan dua di Bali.

phoenixjogja_tunggu

“Setiap M Gallery mengusung budaya lokal. Contoh, di Jogjakarta maka kental dengan budaya Jogjakarta, begitu juga dengan yang di Solo dan Bali,” ujar pria yang meminang gadis asal Korea Selatan sebagai isteri itu.

Hantu di Hotel

Hotel ini dilengkapi dengan sejumlah fasilitas berstandar internasional. Sebut saja misalnya enam ruang pertemuan dengan kapasitas mulai untuk lima orang hingga 400 orang. Lalu, fasilitas kolam renang, spa, lounge hingga restoran bermenu Nusantara dan Barat.

Di tengah persaingan bisnis hotel yang cukup ketat di Jogjakarta, hotel ini ini tergolong mengantongi tingkat hunian tinggi. Menurut Thomas, tingkat hunian (okupansi) hotelnya berkisar 75-80% per tahun.

Tamu yang menginap mayoritas berasal dari dalam negeri. Hampir sekitar 60% tamu yang datang adalah dari Nusantara. Baik itu dari Jakarta, maupun kota-kota besar lainnya di Indonesia. “Tamu dari luar negeri ada, yakni sekitar 40%. Ada dari Eropa, tapi banyak dari Asia,” jelas Thomas.

Phoenix Yogyakarta memang punya kesan sedikit angker. Bisa jadi karena hotel berkapasitas 143 kamar bertumpu pada bangunan yang sudah berusia hampir seratus tahun.

Thomas tidak memungkiri jika hotel yang dikelolanya terkesan angker. Bahkan, kata dia, bukan mustahil ada hantu di hotel yang terletak di Jl Jenderal Sudirman, Jogjakarta tersebut.

“Saya sudah tiga tahun disini, bisa jadi ada hantu, tapi tidak mengganggu,” cerita dia.

Selama saya menginap sepanjang tiga malam di hotel bintang lima ini kesan angker memang ada. Tapi, kenyamanan beristirahat tidak terusik. Maklum, usai menempuh perjalanan menunggang kuda besi hingga sekitar 600 kilometer dari Jakarta ke Jogjakarta. Apalagi, fasilitas kamar yang dilengkapi ornament khas Jogjakarta tergolong nyaman dan mewah.

Oh ya, buat kita para penunggang sepeda motor, terdapat ruang parkir yang nyaman buat kuda besi di lantai basement hotel. Letaknya disamping bagian kiri bangunan hotel. Ketika saya parkir dan masuk ke hotel memang sempat menjadi pemandangan langka karena sambil menenteng helm. Namanya juga bikers. (edo rusyanto)

foto-foto: dok pribadi dan dok phoenix hotel yogyakarta

Iklan
One Comment leave one →
  1. 6 September 2016 21:27

    pengalaman mistis apa saja yang terjadi di hotel tersebut?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: