Lanjut ke konten

Dinamisnya Bersepeda Motor di Jakarta

9 Agustus 2019

BERSEPEDA motor di Jakarta punya cerita tersendiri. Apalagi jika bandingkan kondisi tahun 1970-an dengan tahun 2000-an, terutama kondisi tahun 2019 saat ini.

Kini, belasan juta roda dua menghuni kota Jakarta dan sekitarnya. Dan, tiap hari, terutama di jalan-jalan utama Jakarta maupun simpul-simpul masuk dan keluar Jakarta, si kuda besi terlihat mendominasi lalu lintas jalan. Maklum, pada 2017 saja, porsi sepeda motor sedikitnya 74% dari populasi kendaraan bermotor di Jakarta dan sekitarnya yang menyentuh angka tak kurang dari 18 juta unit.

Meruyaknya sepeda motor boleh jadi karena kendaraan itu dianggap sebagai alat bermobilitas yang mangkus dan sangkil. Terlebih bila dibandingkan dengan angkutan umum yang ada saat ini. Berdalih lebih hemat dan bisa dari satu titik ke titik lain dengan fleksibel, jadilah sepeda motor idola warga berpenduduk lebih dari 9,5 juta jiwa itu.
Angkutan umum yang tersedia seakan tak berdaya. Warga lebih memilih sepeda motor.

Di balik itu semua, ekses maraknya penggunaan sepeda motor tentu saja harus dipikul Jakarta. Sebut saja misalnya, masalah kecelakaan dan kemacetan lalu lintas jalan, serta urusan polusi udara dan suara. Di sisi lain, mencuat juga soal pemborosan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) mengingat nyaris 100% sepeda motor yang berseliweran mengonsumsi BBM. Amat minim yang memanfaatkan energi baru dan terbarukan seperti listrik.

Bicara kemacetan jalan, para pesepeda motor di Jakarta sempat mencicipi pembatasan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Sepeda motor tidak boleh melintas di Jl MH Thamrin dan Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Walau, akhirnya pembatasan itu dicabut.

Belakangan bahkan mencuat wacana pembatasan lalu lintas sepeda motor dengan basis tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) alias pelat nomor ganjil dan genap bersamaan dengan perluasan area ganjil genap untuk mobil. Namun, wacana itu masih tersimpan di laci meja karena memang pembatasan lalu lintas sepeda motor masih berkutat pada ruang dan waktu.

Hal itu merujuk pada regulasi yang berlaku saat ini, yaitu Undang Undang (UU) No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) serta turunannya Peraturan Pemerintah (PP) No 32 tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, Serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas. Begitu juga dengan Peraturan Daerah (Perda) No 5 tahun 2014 tentang Transportasi.

Sedangkan pembatasan lalu lintas mobil bisa berdasarkan jumlah penumpang dan TNKB (ganjil genap). Selain itu, dapat dengan penerapan system berbayar atau yang dikenal dengan sebutan electronic road pricing (ERP).

Di sisi lain, terkait isu pencemaran udara, sebagian pihak meyakini perluasan kawasan ganjil genap dari semula sembilan ruas jalan menjadi 25 ruas jalan mampu menekan jumlah polusi. Apalagi, waktu pemberlakuan ganjil genap juga ditambah, bila semula berlaku jam 06.00-10.00 dan 16.00-20.00, kini untuk yang sore hingga malam rentang waktunya menjadi 16.00-21.00.

Begitu juga dengan isu kemacetan. Perluasan ganjil genap dinilai mampu menekan kemacetan. Walau, bukan mustahil terjadi pergeseran penggunaan jenis kendaraan. Hal ini memang mesti diuji, seberapa banyak pergeseran dari penggunaan mobil ke sepeda motor, misalnya. Hal yang diharapkan oleh Pemprov DKI Jakarta adalah pergeseran dari penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum massal.

Bila melihat jumlah kendaraan bermotor yang masih cukup tinggi, yakni tak kurang dari 18 juta unit, persoalan kemacetan dan polusi udara tentu saja masih sulit dihilangkan sama sekali di Jakarta. Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Pemprov DKI Jakarta adalah bagaimana menyediakan angkutan umum massal yang aman, nyaman, selamat, tepat waktu, terintegrasi, terjangkau, dan ramah lingkungan. Tentu dibarengi dengan membangun budaya menggunakan angkutan umum itu sendiri.

Kecelakaan dan Disiplin

Terkait kecelakaan lalu lintas jalan, Jakarta masih punya catatan kelam. Setiap hari, belasan kecelakaan terjadi yang merenggut rata-rata dua hingga tiga jiwa. Keterlibatan sepeda motor dalam kecelakaan tersebut cukup tinggi, yakni di atas 70%.

Ironisnya, pemicu kecelakaan itu didominasi oleh faktor manusia, khususnya perilaku tidak tertib. Artinya, butuh terus ditingkatkan kemampuan, kesadaran, dan implementasi berkendara rendah risiko.

Lewat perilaku berkendara yang aman dan selamat, diharapkan mampu mempersempit celah terjadinya kecelakaan, termasuk ikut menekan potensi dampak buruk bila terjadi kecelakaan. Salah satu ciri utama perilaku berkendara rendah risiko adalah memahami dan sudi mengikuti aturan lalu lintas jalan yang ada. Misal, bila ada larangan melintas di jalur tertentu, sudah sepatutnya diikuti. Tidak perlu melawan arus hanya demi kepentingan ego pribadi dan tak perlu menjarah jalur bus (busway) hanya demi kepentingan diri sendiri.

Ya. Disiplin menjadi kata kunci mewujudkan berkendara rendah risiko. Disiplin tak semata terkait regulasi yang diterapkan oleh para penegak hukum. Tapi, juga disiplin pada diri sendiri. Contoh, disiplin dalam memeriksa kondisi kendaraan dan diri sendiri sebelum bersepeda motor.

Kalau untuk urusan disiplin terhadap aturan, misal, jelas-jelas aturan yang berlaku mewajibkan pesepeda motor melaju di sisi kiri jalan, karena itu, sebisa mungkin melajulah di sisi yang dimaksud. Betul bahwa perlu ada marka dan rambu untuk mewujudkan lajur kiri untuk sepeda motor melintas. Atau, di sejumlah kota seperti di Yogyakarta, ada separator untuk membedakan lajur sepeda motor dengan lajur mobil melintas.

Lajur sepeda motor yang ditandai dengan marka jalan, sudah terlihat di beberapa lokasi di Jakarta Pusat seperti di Jl MH Thamrin, Jl Jenderal Sudirman, atau Jl Medan Merdeka Barat. Jujur saja, di lajur itu memang tidak semata roda dua yang melintas, terlihat juga mobil pribadi atau kendaraan lain. Praktis, lajur sepeda motor tak selamanya steril.

Jadilah sepeda motor tumpah ke lajur lain. Memang bukan semata urusan tumplek blek-nya kendaraan lain di lajur sepeda motor, ada persoalan perilaku di sana. Disinilah letak pentingnya disiplin. Disiplin untuk mewujudkan lalu lintas jalan yang selamat, aman, nyaman, dan tertib. Pertanyaannya, bagaimana membangun disiplin?

Jawabannya bisa panjang. Modal dasar disiplin perlu diberi fondasi tentang pentingnya memprioritaskan keselamatan saat berlalulintas jalan. Bila budaya selamat cukup kuat, langkah selanjutnya menambah dosis kesadaran bahwa saat di jalan, banyak pihak punya hak dan kewajiban yang sama. Ada beragam watak dan kepentingan yang wira-wiri di jalan. Di titik ini, penting untuk membangun dan mewujudkan perilaku sudi berbagi ruas jalan. Omong kosong bicara toleransi, jika di jalan raya saja mau memang sendiri. (edo rusyanto)

Iklan
No comments yet

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: