Lanjut ke konten

Benahi Sistem Transportasi Publik

29 September 2010

Oleh: Edo Rusyanto

JAKARTA – Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bisa ditekan signifikan jika sistem transportasi umum massal aman, nyaman, selamat, dan tepat waktu. Di Jakarta, perbaikan sistem transportasi umum bahkan bisa memangkas 15% konsumsi BBM.

foto:edo

Demikian rangkuman pendapat Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit, Direktur Eksekutif Institut Transportasi (Instran) Darmaningtyas, pengamat energi Pri Agung Rakhmanto, dan anggota Komisi VII DPR RI Dito Ganundito yang dihubungi Investor Daily di Jakarta, Jumat (17/9).

Sementara itu, pembatasan BBM bersubsidi yaitu solar dan premium, tidak hanya akan diterapkan di kawasan-kawasan elite, tapi juga pada stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di jalan bebas hambatan (tol).

Perluasan cakupan pembatasan BBM bersubsidi dilakukan karena PT Pertamina memperkirakan kuota BBM bersubsidi sebesar 32,628 juta kiloliter (KL) akan habis pada awal November 2010, bila pemerintah tidak segera mengambil langkah antisipasi.

Darmaningtyas menyatakan, sekitar 500 ribu pemakai mobil di Jakarta akan beralih ke sistem transportasi umum. Dengan catatan, sistem transportasi MRT (mass rapid transportation) dibenahi, busway 15 koridor beroperasi penuh (saat ini baru 8 koridor), dan kereta api komuter berjalan.

Dia mengasumsikan, satu mobil mengonsumsi empat liter BBM per hari, sehingga BBM yang bisa dihemat sekitar dua juta liter per hari. Itu baru untuk kawasan Jakarta dan sekitarnya.

Dalam perhitungan MTI, kata Danang Parikesit, sedikitnya konsumsi BBM di Jakarta bakal berkurang sekitar 15%. “Pembangunan transportasi umum yang bagus merupakan bagian dari upaya pemerintah memberikan alternatif jika mau menerapkan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi,” tegas Danang.

Bagi Darmaningtyas, transportasi di Jakarta saat ini belum nyaman. Tak heran jika kemudian kendaraan pribadi meruyak. Saat ini, sedikitnya ada dua juta unit mobil dan sekitar 7,5 juta sepeda motor beroperasi di Ibukota. Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyebutkan, ada sekitar 20 juta perjalanan per hari.

Problem transportasi Jakarta yang masih karut marut, bukan semata soal pemborosan BBM, tapi juga menyisakan problem lain, yakni meruyaknya kecelakaan lalu lintas jalan yang merenggut sekitar empat jiwa per hari.

Dia menyebutkan, sistem kereta api komuter dari arah Bekasi, Bogor, dan Tangerang, harus dibenahi agar mampu meredam laju kendaraan pribadi dari kota satelit Jakarta tersebut.

Selain Jakarta, kota-kota besar yang harus dibenahi sistem transportasinya, kata Danang, mencakup Medan, Surabaya, dan Makassar. “Pemerintah harus mulai memikirkan penataan transportasi di kota-kota itu,” tutur dia.

Darmaningtyas menyoroti belum adanya komitmen politik pemerintah untuk membenahi sistem transportasi di Jakarta. “Jika komitmen ada, persoalan dana untuk investasinya pasti mudah dicari,” tukasnya.

Di sisi lain, menurut Dito Ganundito, persoalan BBM juga menyangkut kebijakan pemerintah soal pengelolaan energi yang belum pas. “Pemerintah harus mendorong program energi alternatif, baik itu nabati maupun gas,” kata Dito.

Program energi alternatif, kata dia, sudah digulirkan sejak 2005, tapi implementasinya masih kurang bagus.

Bahkan, dalam kacamata Pri Agung, butuh kemauan politik dari pemerintah dan DPR RI untuk mendorong penurunan konsumsi BBM fosil.

Menurut dia, langkah untuk menurunkan konsumsi BBM bersubsidi adalah mendorong pembuatan energi alternatif dari nabati, instrumen harga, dan pembentukan sistem transportasi publik yang bagus.

Subsidi Habis November

Di tempat terpisah, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Tubagus Haryono menyatakan, Pertamina memperkirakan kuota BBM bersubsidi yaitu premium dan solar sebesar 32,628 juta kiloliter (KL) akan habis awal November 2010.

Kondisi itu akan terjadi seandainya pemerintah tidak segera mengambil langkah antisipasi. “Berdasarkan informasi dari Pertamina kalau kita tidak melakukan sesuatu, dikhawatirkan awal November kuota BBM bersubsidi akan habis,” ujar  dia usai acara halal bihalal di Kantor BPH Migas, kemarin.

foto:edo

Menurut dia,  pemerintah tengah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55/2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bahan Bakar Minyak (BBM) Dalam Negeri. Revisi Perpres tersebut akan menetapkan kriteria siapa saja yang boleh dan tidak boleh mengonsumsi BBM bersubsidi. Revisi Perpres ini akan digunakan sebagai payung hukum pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bagi pengguna mobil yang diproduksi tahun 2005 ke atas.

“Selain payung hukum, Pertamina juga harus menyiapkan infrastruktur peralatannya. Misalnya, alat deteksinya apakah akan menggunakan stiker atau chip atau seperti apa, itu yang sedang kami bahas dengan Ditjen Migas, Ditlantas, dan Gaikindo dan berbagai pihak yang terkait. Jadi ini butuh waktu untuk persiapannya,” jelas Tubagus.

Isyarat dari Kantor Menko Perekonomian menyebutkan bahwa pembatasan konsumsi BBM bersubsidi akan molor. Pemerintah butuh waktu untuk mengkaji. Termasuk soal sosialisasi kebijakan tersebut. “Oktober ini belum tentu dan butuh persiapan,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa.
Menurut Tubagus, selain dapat menghemat konsumsi BBM bersubsidi pada transportasi darat, revisi Perpres ini juga memungkinkan adanya penghematan penggunaan BBM bersubsidi dari transportasi laut.

Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa semua kapal yang berbendera Indonesia boleh menggunakan BBM bersubsidi. Sementara ada asas cabotage yang memerintahkan seluruh kapal yang beroperasi di Indonesia wajib berbendera Indonesia. “Akibatnya semuanya harus memperoleh BBM subsidi dan itu diperhitungkan akan menambah beban BBM subsidi sebesar 1,5 juta KL. Nah oleh karena itulah, ini perlu penyempurnaan apakah nanti special cargo yang diberi atau nelayan saja,” kata dia.

SPBU di Tol

Sementara itu, dari sisi penjualan BBM bersubsidi, pemerintah membatasi solar dan premium di kawasan-kawasan elite di Indonesia. Pemerintah menugaskan Pertamina untuk mengurangi jumlah dispenser premium dan solar yang ada di kawasan itu, kemudian menggantinya dengan dispenser BBM nonsubsidi. Rencananya, kebijakan ini akan diterapkan mulai akhir September 2010. “Pembatasan tersebut diterapkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Mungkin awal-awalnya akan diterapkan di Jakarta,” jelas Tubagus.

foto:edo

Selain di kawasan elite, pemerintah juga akan membatasi penjualan di SPBU yang berlokasi di jalan tol di seluruh Tanah Air.

Tubagus mengatakan, pemilihan jalan tol sebagai lokasi klasterisasi penjualan BBM bersubsidi dilakukan untuk lebih memudahkan dalam penerapan maupun dalam pengawasannya. “Karena pemakai jalan tol kan tidak ada pilihan. Kalau BBM habis mau tidak mau dia akan beli di sana,” kata dia.

Namun demikian, dia memastikan pembatasan penjualan BBM bersubsidi di SPBU-SPBU tersebut bukan berarti seluruh SPBU di jalan tol tidak menjual BBM bersubsidi. “Jadi, hanya dikurangi saja jumlahnya. Bus tetap bisa beli solar. Untuk orang-orang mampu, kalau dia tidak mau antre, dia akan beli BBM nonsubsidi,” katanya.

Kesiapan Pertamina

Sedangkan Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Djaelani Sutomo mengatakan, Pertamina siap melaksanakan apa pun keputusan pemerintah soal pembatasan penjualan BBM bersubsidi. BUMN tersebut meminta waktu satu bulan untuk mempersiapkan infrastruktur yang dibutuhkan. “Tapi kalau hanya untuk Pulau Jawa itu sudah siap,” tambah dia.

Menurut Tubagus, langkah-langkah tersebut harus dilakukan karena hingga  Juli 2010, rata-rata realisasi konsumsi tiga jenis BBM bersubsidi yang sudah disalurkan mencapai 21,83 juta KL atau 59,8% dari kuota BBM bersubsidi yang sudah ditetapkan dalam APBN-P 2010 sebesar 36,5 juta KL.

Berdasarkan catatan BPH Migas, sepanjang Januari-Juli 2010, volume premium yang terjual mencapai 13 juta KL atau 60,65% dari kuota APBN-P 2010 yang dipatok di level 21,434 juta KL.

Sementara untuk solar telah terjual sebanyak 7,38 juta KL atau 65,92% dari kuota 11,194 juta KL. Sedangkan konsumsi kerosin (minyak tanah) mencapai 1,45 juta KL atau sekitar 38,15% dari kuota 3,8 juta KL minyak tanah yang ditetapkan dalam APBN-P 2010. (did/teh)


sumber; Investor Daily, 18 September 2010

6 Komentar leave one →
  1. 29 September 2010 07:34

    pembuatan transportasi masal terkadang melupakan transportasi masa yg dipunyai rakyat biasa seperti angkot, minibus dll. sangat disayangkan. padahal kalau mereka bisa digandeng bersama, manfaatnya berlipat2. mengurangi pengangguran, memperlancar program pembuatan transportasi masa tsb hingga memperoleh dukungan dari masyarakat yg paling bawah seperti supir,kernet dll

  2. p3p3 permalink
    29 September 2010 08:08

    enek lihat metromini2 skrg :S
    kalo di uji emisi kykna njepat semua, hahaha..
    btw, mstinya mobil2 mewah dikasih stiker “kendaraan ini dilarang menggunakan BBM bersubsidi”, hahahaha…

    • ashley soulsick permalink
      29 September 2010 09:18

      setuju gan!!!

  3. softech_niQ permalink
    29 September 2010 10:24

    mobil dinas jg ga blh make BBM yg subsidi,coz kbnykn sering dsalah gunakn,,,

  4. masdiisya permalink
    29 September 2010 13:00

    @mbah Edo
    “Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyebutkan, ada sekitar 20 juta perjalanan per hari.”

    ini maksuduya apa mas? bisa dijelaskan korelasinya dengan jumlah kendaraan?

    • 29 September 2010 13:34

      artinya, ada sebanyak 20 juta pergerakan. karena itu, membutuhkan kendaraan untuk mobilitas warga. mulai dari untuk sekolah, kuliah, kerja, hingga rekreasi. semoga membantu, trims.

Tinggalkan komentar