Berjumpa Lagi dengan Sumpah Serapah di Jalan Raya
ORANG mengumpat dengan lantang. Sumpah serapah terlontar dari mulut seorang pria yang saya perkirakan berusia 30 tahunan. Dia membentak pengendara mobil. Entah apa pemicunya.
Posisi saya persis tiga motor di belakang pria pengendara sepeda motor skutik yang tampak emosional tersebut. Arus lalu lintas jalan sempat tersendat di malam yang dingin usai diguyur hujan.
“Turun lu! An**ng. Bangsat,” teriak pria tadi, di tengah keramaian lalu lintas jalan di bilangan Matraman, Jakarta Timur, pada suatu malam, baru-baru ini.
Entah apa yang memicu adu urat saraf itu. Sepintas terlihat pengemudi mobil juga tak mau kalah gertak. Dia membuka kaca jendelanya. Sahut menyahut pun terjadi. Isinya sumpah serapah.
Belasan, bahkan lebih para pengguna jalan yang lain acuh tak acuh. Bisa jadi karena pemandangan seperti itu adalah hal biasa. Di tengah hiruk pikuk lalu lintas jalan kota Jakarta, para pengendara seakan bersumbu pendek. Disulut sedikit saja meledak.
Setiap hari Jakarta disesaki jutaan kendaraan bermotor. Jalan-jalan dipenuhi warga yang hilir mudik. Tentu saja termasuk penglaju dari kota di sekitar Jakarta, mulai dari Bekasi, Depok, Tangerang hingga Bogor. Tak pelak pada jam-jam sibuk, yakni pagi dan sore hari lalu lintas jalan padat merayap.
Rasa lelah saat berkendara, ditambah segudang problem yang mengguyur warga kota seakan menjadi bubuk mesiu yang mudah meledak. Upaya mengerem ledakan begitu sulit. Kesenggol dikit saat antre dalam kepadatan kendaraan bermotor bisa merembet kemana-mana. Sedikitnya seperti yang saya lihat malam itu, saling melontarkan sumpah serapah.
Berlalu lintas jalan memang tak lagi mengandalkan kewaspadaan semata. Dia juga menuntut kesabaran yang luar biasa. Tak jarang kita lihat mereka yang tidak sabar mencari celah walau merampas hak pengguna jalan yang lain. Misal, melibas trotoar jalan. Jelas-jelas itu adalah hak pedestrian, namun pengendara sepeda motor dengan tega merampasnya.
Belum lagi perilaku menerobos lampu merah, melawan arah, hingga merebut jalur bus Trans Jakarta. Rasa sabar benar-benar diuji. Kalau mau jujur, kemacetan yang terjadi disumbang oleh mereka para pengendara itu sendiri. Sepantasnya, nikmatilah kemacetan yang ada.
Ketika terjadi gesekan yang melahirkan adu urat syaraf, semua bisa merana. Ibarat pepatah, kalah jadi abu, menang jadi arang. Sama-sama dirugikan. (edo rusyanto)