Menukar Sumbu Pendek dengan Nalar Jalan Raya
SEORANG pengemudi angkutan online (angkol) menceritakan pengalamannya. Nada bicaranya sempat meninggi ketika menceritakan bagian ulah pengemudi ceroboh yang menghantamnya di jalan tol.
“Mobil saya disenggol bagian kiri depan oleh mobil lain. Sempat marah, tapi dicari jalan keluar yang sama-sama enak,” tutur Udin, kita sebut saja begitu, saat berbincang dengan saya di Jakarta, baru-baru ini.
Jalan keluar yang dipilih, sang penabrak membayar ganti rugi. Walau, katanya, sebelum bersedia mengganti rugi, sang penabrak berkilah tidak bersalah. “Saya nggak minta ganti banyak secukupnya aja untuk benerin yang rusak. Kasihan juga ngelihat ekonomi dia,” seloroh pria muda itu.
Sebuah penyelesaian yang membuat suasana menjadi adem.
Di bagian lain kita disuguhi fakta gesekan di jalan raya yang berujung pada situasi memilukan. Kekisruhan dipicu oleh emosi yang menggelegak. Bagai sumbu pendek, situasi gampang tersulut dan meledak.
Bukan semata bogem mentah yang melayang satu lawan satu. Tak jarang juga dibumbui dengan aksi pengeroyokan. Salah satu pihak yang terdesak meminta bala bantuan. Runyam.
Kita juga pernah disuguhi kabar nyaringnya suara letusan senjata api hanya lantaran senggolan, bahkan sebatas salip menyalip di jalan raya. Letusan tadi bukan saja menimbulkan kerusakan barang, tapi juga ada yang merenggut korban. Mengapa sumbu pendek?
Banyak bahan baku yang bisa bikin sumbu pendek. Misal.Tingginya tekanan berlalu lintas jalan yang karut marut kerap dituding sebagai penyulut ledakan emosi. Pengendara mudah tersulut oleh padatnya kemacetan, teriknya cuaca, hingga suara bising. Apalagi jika kondisi fisik pengendara dalam keadaan lelah. Lengkap sudah.
Lalu, beban hidup yang berat juga melengkapi situasi mudahnya pengendara terprovokasi. Selain itu, kondisi kejiwaan sang pengendara yang sedang tidak stabil termasuk yang mudahnya memicu gesekan. Entah karena karakter atau di bawah kendali obat-obatan atau minuman keras.
Pintu masuk penyulut gesekan di jalan bisa berupa senggolan, salip menyalip, bahkan sekadar tatapan mata. Miris memang. Nalar tergantikan oleh emosi dan egoisme.
Menggunakan pemikiran yang logis atau nalar saat menghadapi situasi seperti kemacetan lalu lintas jalan ternyata menjadi amat penting. Awali kesemua itu dengan pemikiran bahwa para pengguna kendaraan pribadi adalah penyumbang kemacetan. Maksudnya, kalau kita membawa kendaraan pribadi lantas mengutuk kemacetan yang terjadi rasanya kurang elok mengingat kita jugalah penyumbang kemacetan itu.
Lalu, nalar kita juga dipakai untuk mempertimbangkan bahwa hal gede kerap diawali hal yang dianggap sepele. Buntut dari emosional dapat merembet kemana-mana termasuk kecelakaan lalu lintas jalan, kerugian barang, bahkan jiwa dan kerugian sosial lainnya.
Bila sumbu pendek tadi ditukar dengan nalar seperti itu rasanya tak perlu terjadi gesekan bahkan kecelakaan yang dipicu oleh emosi yang meledak-ledak. Kecuali jika kita sudah kehilangan akal sehat dan nurani. (edo rusyanto)
Trackbacks