Dipaksa Pakai Infrastruktur Baru Bisa Disiplin
ADA pemandangan menarik belakangan ini di kawasan Jakarta Selatan, persisnya di sebagian Jalan Jenderal Gatot Subroto, dari arah Pancoran menuju Kuningan. Kini, tak lagi meruyak kendaraan pribadi menjarah jalur bus (busway) Trans Jakarta.
Usut punya usut, ternyata karena di ruas jalan tersebut separator busway tingginya mencapi lebih dari sejengkal orang dewasa. Praktis, kendaraan pribadi seperti sepeda motor maupun mobil, kesulitan memotong median jalan itu baik untuk masuk maupun keluar lintasan busway. Sudah menjadi rahasia umum di Jakarta, busway dianggap sebagai alternatif untuk melintas ketika antrean kendaraan bermotor mengular pada jam-jam sibuk. Tentu, alternatif melintas bagi mereka yang memiliki mentalitas jalan pintas dengan merampas hak orang lain.
Pemandangan serupa pernah saya jumpai di kawasan Jakarta Selatan yang lainnya, yakni di bilangan Kalibata. Saat trotoar jalan dalam kondisi landai, beragam kendaraan bermotor beramai-ramai menjarah trotoar untuk melintas. Namun, saat pembatas trotoar terbuat dari beton ukurannya lebih tinggi, penjarahanpun berhenti.
Begitu juga di salah satu sudut Jakarta Timur. Saat median jalan masih terbuka, banyak yang memanfaatkan celah itu untuk melinta ke jalur sebelah untuk melawan arah. Mereka melawan arah karena enggan antre. Namun, saat celah ditutup beton, aksi melawan arus lalu lintas pun berhenti.
Saya termasuk yang menyimpulkan bahwa kedisiplinan pengguna jalan bisa dibangun ketika dipaksa pakai infrastuktur. Maksudnya, ketika median jalan berupa beton yang dibuat tinggi di busway atau portal besi/beton di mulut trotoar, barulah orang bisa disiplin tidak melintas di jalur yang bukan haknya.
Kedisiplinan berlalu lintas jalan yang dipertontonkan para pengendara ketika dipaksa dengan infrastruktur mengingatkan bahwa harus dipecut dulu baru nurut. Dikasih makan dulu, baru bekerja. Diperintah dulu, baru melaju. (edo rusyanto)