Belajar dari Mereka
HUJAN mengucur deras dari langit. Aspal menjadi licin. Angkutan umum terseok-seok, di bagian lain pengendara sepeda motor melamban. Jaga konsentrasi, daripada tergelincir mencium aspal? Tapi masih ada yang memacu bak melenggang di sirkuit. Konyol.
Siang ini, Jakarta hampir merata diguyur hujan. Sambil menanti hujan reda, vixy merah diparkirkan di depan warung kaki lima penjaja nasi uduk. Sebagian celana, jaket, helm, dan sepatu kuyup oleh air hujan saat melangkah masuk ke warung tenda di pinggir jalan itu.
Uppss…ternyata ada juga beberapa bikers berteduh. Mereka juga sudah kebasahan. Sebagian memilih menunggu sambil menyantap lele goreng, sebagian ayam goreng. Lumayan isi perut.
Pilihan saya jatuh pada segelas teh manis hangat. Sekadar mengurangi rasa dingin. Maklum siang itu sudah santap siang di rumah.
Hampir tak ada yang istimewa, hingga….”Bisa pinjam koreknya dik?” Suara lelaki setengah baya.
Kami pun sama-sama menikmati kepulan rokok kretek. Sebuah komoditas yang mampu menyumbang Rp 40 triliun untuk kas negara. Walau lebih dari 4.000 zat kimia beracun yang masuk ke tubuh perokok ketika mengisap sebatang kretek. Menimbulkan aneka penyakit.
“Nunggu ujan berhenti membosankan,” tiba-tiba lelaki yang menunggang motor bebek itu bicara lagi.
“Iya,” Jawabku sekenanya karena asyik mantau email dan pesan di face book dari nokia 9300.
“Pelindung kaki dan jaket septi-nya bagus dik,” celoteh bapak itu. Rupanya orang ini memperhatikan safety gear yang saya kenakan. Rasanya tidak sopan jika menimpali omongan sambil mengetik di ponsel. Saya pun berpaling menatap wajah sang bapak yang saya taksir berusia lima puluhan tahun. Banyak kerut di keningnya. Cerminan memikul kerasnya beban hidup di Jakarta.
“Minggu lalu anak saya kecelakaan motor,” seru lelaki itu lagi. Wah…menarik nih. Gumam dalam hati.
“Lalu,” jawabku.
“Tak ada yang menolong karena takut, kejadiannya malam hari, orang Jakarta mending ngurusin dirinya sendiri daripada orang lain,” kata dia. Tadinya ingin protes, tapi bapak itu keburu melanjutkan.
“Akhirnya ada yang menolong. Seorang pedagang asongan dan sopir angkot, mereka membawa anak saya ke rumah sakit,” tatapan sang bapak menerawang. Terbersit rasa iba.
“Lantas?”
“Penjaga di ruang darurat awalnya enggan menolong sebelum ada jaminan,” ujar lelaki itu sambil menyeruput kopi hitam dari gelas. Tangannya terlihat sedikit bergetar.
“Rumah sakit mahal. Tapi saya bersyukur pedagang asongan tadi dan sang sopir angkot berani bertanggung jawab,” ceritanya lagi dengan intonasi sedikit bergetar.
“Berapa rumah sakit minta jaminan?” Tanya saya.
“Itulah dik, sang pedagang asongan mengeluarkan seluruh uang recehan yang ia dapat hari itu, ada Rp 143 ribu, sopir angkot ada Rp 215 ribu,” paparnya.
Uang segitu mana cukup dan pasti pihak rumah sakit menolak. Namun, sela sang bapak, para penolong anaknya ngotot. Mereka minta rumah sakit menolong dulu sang korban, urusan biaya bisa dipikul belakangan. “Ini soal nyawa manusia!” Bentak mereka, ujar sang bapak menirukan dialog saat itu. Beruntung, lanjut si bapak, ada seorang ibu yang sedang menjenguk suaminya dirawat di situ mau membantu. Terkumpullah uang satu juta dua ratus ribu.
“Akhirnya anak saya yang berlumuran darah ditangani dik,” kisah bapak itu. Sorot mata sang bapak terlihat sayu.
“Bagaimana kondisi anak bapak sekarang?” tanya saya penasaran.
Sang bapak tidak langsung menjawab, ia mengisap dalam-dalam sisa rokok kretek di jarinya.”Meninggal. Karena terlambat ditangani petugas rumah sakit.”
Tak mudah saya mengajukan pertanyaan lagi. Suasana senyap beberapa saat, walau di luar sana suara mobil dan motor lalulalang. Rintik hujan masih memainkan irama alam yang dramatis.
“Makanya saya bilang pelindung lutut, jaket dengan pelindung sikut, dan helm punya adik ini amat bagus buat perlindungan,” tiba-tiba sang bapak angkat bicara lagi.
Ia pun bertutur, saat kecelakaan sang anak yang berusia 18 tahun, tidak memakai jaket, sepatu, dan helm. “Boro-boro pelindung lutut dan siku, kami gak mampu beli dik,” ujar lelaki itu.
Saya cuma terdiam. Hingga sang bapak itu beringsut meninggalkan warung karena hujan tinggal sisa rintik-rintik. Langit Jakarta masih terlihat gelap. Sayup-sayup lagu U Rise Me Up, Josh Groban bak menyayat dari Ipod. (edo rusyanto)
Cililitan, 10 Juni 2009
wew,,, jadi inget kejadian pas SMA om
sekeluarga naek motor pagi2 ga pake helm lagi berusaha memotong jalan yg berlawanan arah d tabrak sama motor yang ngebut dari arah yg benar.
setelah kejadian waktu terasa seperti berhenti sejenak. terlihat motor yg d kendarai mereka sama terlempar.
yang selamat hanyalah orang yang dari arah yang benar karena pake helm dan anak dari kluarga yg d tabrak.
dan polisi responny sangat lama, hingga 3 menit, padahal polisi yg tugas jarakny hanya 1 menit dari tkp klo lari
jadi inget pengalaman waktu nolongin karyawan pabrik di deket rumah sktr jam stgh 12 malem yg ngejoprak stlh nabrak gerobag ( gak tau tukang dagang apaan ) yg tiba2 nyelonong nyebrang gak liat2….
walaupun si karyawan ini nekat mau lsg ngelanjutin pulang, tapi gw kekeuh utk bawa dia dulu ke RS Tugu Ibu, Palsigunung bwt dapetin perawatan atas luka2 sobek di mulutnya plus 1 buah gigi yg rontok/patah yg trs ngucurin darah….gw cuma ngeri si karyawan ini kehabisan darah…..
akhirnya bela2in nganter/mboncengin ke RS dgn pasang badan krn smp dsana gw sdkt diinterogasi oleh pihak RS dan polisi yg kebetulan lwt saat patroli dan trs mengejar gw ke RS utk mengecek kondisi korbannya….dan konyolnya, walau jelas2 motor gw mah bersih gak ada bekas tabrakan, tp gw smpt dituduh sbg penabrak si karyawan tsb….wkwkwkwk….tp alhamdulillah, stlh adu argumen plus agak sdkt naek emosi juga ke petugas polisi tsb, gw bisa membuktikan klo gw cuma bawa si korban ke RS krn gak tega ngebiarin darah yg trs ngucur dr luka2nya….dan mmg niatan yg murni cuma kpgn nolongin…..
kayaknya artikel ini udah pernah diposting deh bang..CMIIW
sama mas, waktu saya smu jg pernah kecelakaan gak begitu jauh dari rumah saya kurleb 2km, waktu mau berangkat sekolah, saya ditabrak motor dr belakang..sy terseret cukup jauh, banyak warga sekitar melihat tp tidak ada yg menolong, sakit tubuh sy, lebih sakit lg hati sy, sy masih smu kelas 2 orang jawa bilang “durung patek njowo” utk urusan spt itu, alhasil yg nabrak pergi, sy kesakitan dipinggir jalan ngurus sendiri trus pulang kerumah dg kondisi motor sy rusak
sampai sekrang kejadian itu membekas dihati sy
dan setiap ada kecelakaan yg kebetulan sy melihat, sy pasti berusaha menolong, sy ga peduli apakah sy nanti malah terlibat masalah ato engga, yg penting niat sy menolong
*pernah ada kejadian ssy menolong orang kecelakaan saat akan berangkat kerja malah sy yg kena disalahkan, tp gpp lah akhirnya semua beres, meski harus ngotot2an dgn pihak klrga yg kecelkaan utk menjelaskan
😀
@tomi; turut prihatin, semestinya semua tergerak untuk menolong, walau sebatas mengamankan area kecelakaan dan mencari bantuan paramedis. trims bro
@wisnu; salutttt bro, kita hanya bisa meminta bantuan paramedis yang memang memiliki skill di bidang kesehatan. salam
@benny; iya benar ben, ane hanya terusik aja melihat beberapa kejadian belakangan ini di cuaca ekstrim yang memungkinkan potensi kecelakaan. salam
@ remcakram; trims sharingnya bro, salam
Safety itu emang mahal ya mas 🙂 plus kehati hatian yg mulai hilang dari hati kita … tidak waspada plus gak pake safety tools *miris*
bener om.. setelah meliat kejadian di jalan. saya skrg jg takut sendiri bila naik motor tanpa helm.. harus bs belajar dr peristiwa yg pernah di liat..
nice writing om Edo… terharu
kalo baca cerita diatas tadi saya ingat waktu saya ke bogor berdua dengan teman saya. ketika didaerah parung waktu itu hujan deras sampai mengganggu penglihatan. saya bialng sama teman saya untuk istirahat saja. teman saya memaksa untuk lanjut ketika kami berdua mau menaikki motor tiba-tiba terdengan suara orang berteriak dan ketika saya lihat sebuah sepeda motor sudah berada dibawah truk besar yang mengangkut semen. spontan teman saya bilang istirahat aja kali yah biar penglihatan kita tidak tertanggu……… akhirnya kami berdua dan beberapa orang menolong motor yang tertabrak tadi……inti cerita ini adalah jangan melawan alam ketika berkendara kemana juga karena kita tidak tahu kondisi ketika hujan deras menerpa kita……. salam
danie assa
hue..
cerita naya nih..???
indonesia ini negara hukum. saking bagusnya hukum di indonesia biasanya yang nolongin justru yang dihukum. makanya kalau nggak urgent banget saya was2 kalo mau nolong kecelakaan apalagi pas kita jg bawa kendaraan.
Safety ?? Mahal ?? ayo kita hitung-hitungan.
Safety = Mahal = Pembenaran.
Yang benar adalah
Safety = Kemauan + Keperdulian.
Dan moral dari cerita ini adalah,
“PENYESALAN SELALU DATANG BELAKANGAN”.
Kalau saja bapak itu tau, kalau tidak pake helm, tidak pake jaket, tidak pake pelindung-ini dan itu bisa membahayakan, gw jamin, tuh bapak bakal bela-belain beli safety gear.
Dan safety gear TIDAK mahal, kalau benar-benar ada kemauan, dan tidak cari pembenaran sendiri. Sarung tangan rp 20rb, Helm Rp 150rb, Jaket Rp 150rb, Sepatu Bot Rp 65rb, Knee+elbow Protektor Rp 150rb. Total Rp 513rb…. Ini investasi 3 TAHUN !!!.
Sekarang sudah kecelakaan ? Patah Tangan/kaki (operasi + rawat inap + istirahat) +- Rp 13 JUTA ?
Pecah Kepala ? (PRICELESS !!!)
hue..
cerita nyata nih..???
Nice story Gan…..
kadang kehidupan begitu tragis…..nyawa manusia seperti tidak berharga….fulus lebih perkasa menentukan segala…….
tapi dari orang-orang kecil seperti si pedagang asongan dan sopir angkot itu malah mampu memberi pelajaran kepada kita bagaimana memaknai hidup……
Thanks untuk kisahnya
pemakaian alat perlindungan diri (APD) bagi bikers adalah upaya mengurangi risiko jika tertimpa musibah kecelakaan. sekalipun sudah memakai APD, kehati-hatian berkendara masih merupakan hal mutlak. all; trims untuk atensinya yah, salam